Taman Bermain yang Hilang
Taman
Bermain yang Hilang
Malam hari merupakan malam yang ditunggu oleh
Kupi, kepiting kecil. Ia menikmati saat-saat berjalan pelahan di
gundukan pasir bersama ayahnya. Mereka menanti datangnya air pasang, yang akan
membawa mereka ke dunia yang berbeda. Ya, Kupi selalu menanti saat-saat mereka terempas
oleh air pasang, lalu tiba di hutan bakau. Nanti di sana ia pasti akan bertemu
dengan teman-teman kecilnya yang lain. Upi si udang kecil,
Kuro si kura-kura, dan teman-teman yang lebih
besar seperti Bangau Cilik dan Momo si monyet. Di antara akar bakau mereka bisa
bermain kejar-kejaran, petak umpet, atau tidur di sela akar yang melintang.
Seru sekali saat-saat itu.
Adakalanya mereka berpisah, terbawa oleh
pasang surut, kembali ke laut bebas. Namun, suatu hari mereka bertemu lagi dan
bermain bersama lagi. Suasana di hutan bakau tentu berbeda dengan suasana di
laut lepas. Airnya pun berbeda. Tidak asin seperti air laut, tetapi tidak juga
tawar. Kupi tidak tahu apa namanya. Berbeda, tetapi Kupi dan teman-teman tetap
bisa bermain dengan nyaman.
Malam itu, di pesisir pantai, Kupi bertanya
pada ayahnya. “Ayah, mengapa kita tidak lagi pernah bisa bertemu dengan Bangau
Putih, teman ayah? Aku juga sudah rindu bertemu dengan sahabat-sahabat kecilku.
Aku sudah lama sekali tidak bertemu dengan Upi, Kuro, Bangau Cilik, dan Momo. Mengapa
sekarang susah sekali kita bertemu dengan mereka ya?”
Sambil berjalan pelan di gundukan pasir, ayah
Kupi menjelaskan pelahan. “Kupi, sayang sekali hutan bakau tempatmu bermain
sudah rusak. Ayah dengar dari Paman Nelayan, manusia di pesisir pantai sana
ingin membuat bangunan-bangunan yang tinggi menjulang. Mereka butuh lahan yang luas.
Mereka menebang habis hutan bakau. Mereka membangun gedung tinggi menjulang ke
langit di atas taman bermainmu itu.” Ayah menjelaskan pelahan. Sesungguhnya ia
tidak ingin Kupi sedih, tetapi bagaimana lagi? Ayah tidak ingin Kupi terus
menanti tanpa kepastian.
Kupi tertunduk sedih. Pupus sudah harapannya
bertemu lagi dengan sahabat- sahabat kecilnya.“Mengapa manusia begitu jahat,
Ayah? Mengapa manusia tidak memikirkan
kita, makhluk kecil di pesisir pantai?
Mengapa manusia hanya memikirkan dirinya
sendiri?” Kupi meratap pelan, namun penuh amarah.
Ayah ingin menenangkan hati Kupi. Ia menambahkan,
“Sebenarnya, ketika hutan bakau tempatmu bermain ditebang, manusia pun menerima
akibat buruknya, Kupi. Air laut akan semakin mudah mencapai daratan. Tidak ada
lagi pohon bakau yang menahan. Lama-kelamaan, air tanah di sekitar pantai akan
menjadi air asin. Manusia ‘kan tidak bisa minum air asin, Kupi.” Ayah berusaha
menjelaskan panjang lebar.
Ayah kemudian menambahkan. “Dengan rusaknya
pantai akibat penebangan bakau, kegiatan manusia pun menjadi terganggu.
Sekarang wisatawan yang berkunjung ke pantai ini semakin berkurang. Para pedagang
yang dulu berjualan di sekitar sini tidak ada lagi. Pemandu wisata yang biasa
menjelaskan tentang keindahan pantai dan hijaunya bakau pun sudah jarang
terlihat. Nelayan yang biasa menjual hasil tangkapan mereka pun tinggal
sedikit.
”Kupi tidak terhibur oleh penjelasan ayah. Pikirnya,
biarkan saja manusia menerima akibat dari perbuatannya sendiri. Manusia memang
sering tidak bijak. Kupi hanya ingin berdoa semoga suatu saat nanti hutan bakau
akan kembali. Semoga suatu saat nanti ada lagi taman tempatnya bermain. Semoga
suatu saat nanti ia masih bisa bertemu dengan sahabat-sahabat kecilnya. Kupi
hanya bisa berdoa, semoga kelak manusia bisa bertindak lebih bijaksana. Semoga!
[Santi
Hendriyeti]
Komentar
Posting Komentar